PENGENDALIAN
PENYAKIT VASCULAR STRIKE DIEBACK (VSD)
I. PENDAHULUAN
Di Indonesia
vascular-streak dieback (VSD) untuk pertama kali ditemukan di Pulau Sebatik, di
perbatasan antara Sabah dan Kalimantan Timur, pada tahun 1983. Pada tahun 1984
penyakit ditemukan di Maluku dan Sulawesi Tenggara (Anon., 1987a; Soenaryo dan
Sri Soekamto, 1985; Wardoyo dan Parawirosoemardjo, 1985). Pada tahun1985
mendadak penyakit ditemukan di Perkebunan Bunisari-Lendra. Garut, Jawa Barat.
Setelah dilakukan pengamatan dengan teliti diketahui bahwa VSD juga sudah
terdapat dijawa Timur dan Jawa Tengah. Seterusnya menurut Pawirosoemardjo dan
Purwantara (1992) VSD telah ditemukan di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur. Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara,
Maluku, dan Irian Jaya.
Penyakit telah dikenal di Malaysia Barat sejak tahun 1956. Seterusnya pada
tahun 1960 penyakit ditemukan di Papua Nugini, dan pada tahun 1970 di sabah.
Karena merupakan penyakit baru, di Indonesia besarnya kerugian karena penyakit
ini belum diketahui. Di Malaysia penyakit menimbulkan kerugian 10-35% (Chan dan
Wazir, 1976), sedang di Papua Nugini 25-40% (Byrne,1976).
Walaupun pada tahun 1992 serangan VSD di Sumatera Utara sudah diberitakan,
tetapi kemudian serangan penyakit tersebut tidak ditemukan di lapangan. Bulan
Juni 2010 diperoleh kembali berita dari petugas lapangan bahwa VSD telah ada di
Sumatera Utara. Untuk memastikan hal tersebut telah dilakukan peninjauan
langsung ke lapangan oleh staf Laboratorium Lapangan BBP2TP Medan. Hasil
peninjauan tersebut memang membuktikan bahwa VSD telah berkembang di beberapa
kebun kakao di Kabupaten Batu Bara dan Kabupaten Asahan. Untuk mengetahui
bagaimana luas serangan VSD saat ini di Sumatera Utara perlu dilakukan survey
diseluruh kabupaten di Sumatera Utara khususnya di Kabupaten Batu Bara, Asahan
dan kabupaten lain yang berdekatan.
II. GEJALA SERANGAN
PENYAKIT
1. Gejala serangan dan kerusakan
Penyakit
Vascular Streak Diaback (VSD) disebabkan oleh jamur Oncobasidium
theobromae Talbot & Keane. Di Malaysia kerugian hasil karena
penyakit VSD diduga mencapai 3-60 persen (Shepherd, 1977). Pada tanaman yang
toleran serangan tidak menimbulkan kerusakan yang berarti.
Tanaman yang
terserang jamur O. theobromae menunjukkan gejala meranting (mati
ranking). Gejala khusus penyakit VSD adalah :
1.1. Adanya daun-daun
menguning dengan bercak-bercak berwarna hijau, biasanya daun tersebut terletak
pada seri daun kedua atau ketiga dari titik tumbuh. Daun akhirnya gugur beberapa
hari setelah menguning. Pada ranting terserang satu atau dua daun gugur
sedang beberapa daun di sebelah bawah dan sebelah atasnya masih lengka,sehingga
tampak gejala ranting ompong. Gejala menguningnya daun mulai terlihat tiga
sampai lima bulan setelah spora jatuh pada daun yang bersangkutan, sewaktu daun masih
sangat muda.
Gambar 1.
Gejala VSD : Ranting berdaun ompong
1.2. Pada bekas duduk daun bila
disayat terlihat tiga buah noktah berwarna coklat kehitam-hitaman.
Gambar 2.
Gejala VSD : pada bekas tangkai daun (kelihatan 3 titik coklat)
Gambar 3.
Gejala VSD : pada tangkai daun (jaringan kayu mati)
1.3. Bila
ranting dibelah membujur terlihat garis-garis coklat pada jaringan xylem yang
bermuara pada bekas duduk daun. Lentisel diranting sakita membesar dan relatif
kasar.
Gambar 4.
Gejala VSD : Jaringan kayu (xylem) mati dan berwarna coklat kehitaman
1.4. Kadang-kadang dijumpai
daun menunjukkan gejala nekrose diantara tulang daun seperti gejala kekurangan
unsur Calsium. Gangguan ini akan segera menyebabkan gugur daun dan mati
ranting.
Gambar 6.
Gejala VSD : Warna daun seperti kekurangan Calsium
1.5. Pada
serangan lanjut, kematian jaringan dapat menjalar sampai ke cabang atau bahkan
ke batang pokok. Hal ini akan mempengaruhi produksi tanaman kakao.
III.
PENYEBARAN, DAUR HIDUP DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN
PENYAKIT
1. Penyebaran Penyakit
Penyakit menular dari
pohon satu ke pohon yang lain melalui spora yang diterbangkan oleh angin pada
tengah malam hari. Spora-spora sangat peka terhadap cahaya dan menjadi tidak
infektif setelah terkena sinar matahari selama 30 menit (Keane, 1981). Spora
yang jatuh pada daun muda akan segera berkecambah apabila tersedia air dan akan
tumbuh masuk ke dalam jaringan xylem. Setelah 3-5 bulan baru tampak gejala daun
menguning dengan bercak hijau, daun-daun tersebut sangat mudah gugur, sehingga
menyebabkan mati ranting. Pada saat itu jamur masih tetap tumbuh dalam jaringan
tanaman dan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Penyakit VSD lebih mudah
terbesar di daerah beriklim basah dengan curah hujan yang tersebar merata
sepanjang tahun dari pada di daerah beriklim kering.
2. Daur Penyakit,
0. theobromae
membentuk basidiospora yang hanya dilepaskan pada waktu malam, dan disebarkan
oleh angin. Dengan cara ini jamur tidak dapat tersebar jauh, karena kelembapan
tinggi pada umumnya hanya terjadi bila udara tenang. Chan dan Wasir (1976)
memperkirakan bahwa spora tidak akan tersebar lebih dari 200 m. Infeksi hanya
dapat terjadi pada daun muda yang belum mengeras. Spora berkecambah dan jamur
mengadakan penetrasi melalui epidermis, mesofil, selanjutnya ke tulang daun.
Mengingat jamur
penyebab penyakit ini terdapat dalam berkas pembuluh, diperkirakan bahwa jamur
mudah terbawa dalam bahan tanaman, seperti setek dan mata okulasi. Namun bukti
mengenai hal ini belum terdapat. Dikatakan bahwa setek yang diambil dari
ranting sakit ternyata tidak dapat tumbuh (Chan dan Wazir,1976).
Meskipun dapat masuk
ke plasenta, namun tidak terdapat bukti bahwa jamur menginfeksi biji. Biji-biji
yang diambil dari pohon yang sakit dapat tumbuh seperti biasa dan tidak
berkembang menjadi tanaman sakit (Chan dan Wazir,1976).
Sampai sekarang belum
diketahui tanaman lain yang dapat menjadi inang bagi jamur ini. VSD tidak
terdapat di daerah asal kakao (Amerika Tropika) dan hanya terdapat di Asia
Tenggara dan Kepulauan Melanesia, sedang di banyak daerah ini kakao baru
dibudidayakan selama kurang dari seratus tahun. Disimpulkan bahwa tentunya 0.
theobromae berasal dari tumbuhan pribumi dalam flora Asia Tenggara, dan dari
sini jamur menyesuaikan diri pada kakao yang diimpor. Sampai sekarang tumbuhan
asli yang dapat menjadi inang. 0ncobasidium itu belum ditemukan (Keane,
1992;Prior, 1992).
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Penyakit.
Penyakit terutama
berkembang di daerah yang basah. Bukan hanya curah hujan yang menentukan di
sini, tetapi juga pembagiannya. Jika jumlah malam basah lebih dari 50% dalam
satu bulan, dapat diperkirakan bahwa tiga sampai lima bulan kemudian penyakit
akan tampak meningkat (Prior, 1977). Hal ini disebabkan karena untuk
pembentukan basidiospora tubuh buah jamur harus basah diwaktu malam. Adanya
hujan malam, yang diikuti dengan embun, akan membantu penyebaran penyakit.Spora jamur yang mempunyai dinding tipis itu mudah mati
karena sinar ultra violet pada siang hari.
Dari
pengamatan-pengamatan di Indonesia diketahui bahwa VSD lebih banyak terdapat
pada kakao lindak (bulk), dan kurang terdapat pada kakao mulia (edel,
Trinitario). Klon DR 1 lebih tahan ketimbang DR 2 dan DR 38. Juga tampak bahwa
tipe Amelonado lebih rentan dari pada kakao Upper Amazon dan Trinitario (Keane
dan Prior, 1992).
Pada pengujian
ketahanan yang dilakukan di Papua Nugini (Prior, 1977) diketahui juga bahwa
kultivar-kultivar Trinitario lebih tahan terhadap VSD. Terdapat petunjuk yang
kuat bahwa ketahanan ini bersifat horizontal, dikendalikan oleh banyak gen,
sehingga stabil. Klon-klon yang pada pertengahan tahun 1960-an terbukti tahan,
sampai sekarang belum tampak mundur ketahanannya (Keane dan Prior, 1992).
Demikian
juga di Malaysia Chan dan Wazir (1976) menyatakan bahwa kultivar-kultivar Upper
Amazon dan Trinitario lebih tahan daripada Amelonado dengan hibrida-hibridanya.
Dikatakannya bahwa hal ini disebabkan karena Upper Amazon dan Trinitario lebih
kuat pertumbuhannya, sehingga mampu membentuk ranting-ranting baru untuk
mengganti yang mati karena penyakit.
IV. PENGENDALIAN PENYAKIT
1. Pangkasan Sanitasi
Pengendalian
penyakit VSD di daerah basah (tipe curah hujan B di Sumatera Utara, Jawa Barat)
dengan pangkasan sanitasi 2 minggu sekali (Pawirosoemardjo & Purwantara,
1987) dan di daerah kering (tipe curah hujan D di Jawa Timur) dengan pangkasan
1-3 bulan sekali ternyata efektif.
Pemangkasan bertujuan
untuk menghilangkan ranting atau cabang sakit yang mengandung jamur (sanitasi)
dan untuk mengurangi kelembapan kebun. Untuk menghilangi jaringan yang sakit,
ranting atau cabang dipotong 30 cm dibawah pangkal garis cokelat yang tampak
dalam kayu. Dalam keadaan yang parah usaha sanitasi ini cukup mahal, manfaatnya
kurang, bahkan sering menyebabkan tanaman sangat menderita. Bahan-bahan
pangkasan tidak perlu dibakar atau diangkut dari kebun, karena jamur tidak
dapat berkembang dan membentuk tubuh buah ranting yang sudah dipotong.
Pangkasan
sanitasi dilakukan dengan cara memotong ranting sakit sampai batas garis
cokelat pada xylem ditambah 30 cm. Berdasarkan pengalaman seperti tersebut maka
disusun cara pengendalian seperti pada Tabel 1. di bawah ini.
Tabel 1. Cara pengendalian penyakit VSD pada beberapa
intensitas serangan di daerah beriklim kering dan basah
Intensitas serangan ditentukan
berdasarkan persentase ranting sakit dan kerusakan pada xylem.
Ringan
: Jumlah ranting sakit <10 persen dan jamur menyerang
hanya sampai pada cabang tersier
Sedang
: Jumlah ranting sakit 10-30 persen dan jamur menyerang
sampai pada cabang sekunder.
Berat
: Jumlah ranting sakit >30 persen dan jamur menyerang
sampai pada cabang primer atau batang pokok.
2.
Penanaman klon toleran
Kultivar kakao mulia
yang banyak ditanam di Jawa dewasa ini ( DR 1, DR 2, DR 38, DRC 13, dan
DRC 16), semuanya termasuk Trinitario yang mempunyai ketahanan yang cukup.
Sedangkan kakao lindak yang dianjurkan antara lain adalah ICS 60 x Sca 6, DR 2
x Sca 12, Sca 12 x ICS 60, ICS 60 x Sca 12, DR 1 x Sca 6, DR 1 x Sca 12, dan
Sca 6 x ICS 6 (Anon., 1987a; Iswanto dan Winarno, 1992; Soenaryo dan
Soedarsono, 1980; Soenaryo dan Sri-Sukamto, 1985).
Sulistiowaty (2006)
menganjurkan untuk penanaman baru digunakan hibrida/klon yang toleran misalnya
DR 1 x Sca 6, DR 1 x Sca 12, ICS 60 x Sca 6, Sca 12 x ICS 60, Sca 6 x ICS 6,
klon DRC 15
3. Memperbaiki Kultur Teknis Tanaman
Memperbaiki kultur teknik tanaman dengan perbaikan drainase, pemangkasan
pelindung, penjarangan jarak tanam dan pemberian pupuk berimbang dapat
mengurangi intensitas serangan penyakit. Pemangkasan membantu mengurangi
kondisi gelap dalam kebun. Kondisi gelap dapat membantu perkembangan penyakit.
Pada tanaman yang terserang pemberian pupuk N, P dan K harus dilakukan sesuai
jadwal pemupukan. Pemupukan dapat membantu memulihkan kondisi pertumbuhan
tanaman. Khusus pupuk Kalium dapat diberikan 1,5 kali dosis normal. Kalium
dapat meningkatkan kekerasan sel dan ketahanan tanaman terhadap serangan
penyakit.
4. Penggunaan fungisida
Dewasa ini
pengendalian dengan fungisida belum dapat dianjurkan, karena jamur terdapat di
dalam berkas pembuluh kayu (xilem), sehingga sukar dicapai oleh fungisida.
Selain itu infeksi terjadi melalui daun muda yang tumbuh dengan cepat, sehingga
sukar dilindungi dengan protektan secara merata. Fungisida sistemik yang cocok pun
belum ditemukan. Pada umumnya fungisida sistemik yang ada dewasa ini diangkut
melalui berkas pembuluh tapis (floem), jadi tidak akan mengenai jamur.
Untuk melindungi
tanaman di pembibitan dapat dipakai bitertanol atau propikonazol (Keane dan
Prior, 1992; Sri-Sukamto, 1985b). Bahkan Varghese et al. (1992) di
Malaysia menyatakan bahwa senyawa triazol dapat dipakai dalam kebun dewasa
untuk mengurangi aras sumber penyakit dan intensitas penyakit.
Fungisida kimia dan ZPT (b.a.Azoksistrobin 200 gl dan Difenokonazol 125 g/l)
sedang di uji coba perusahaan Sygenta di Sumatera Utara (Batu-bara). Fungisida
ini diinformasikan perusahaan tersebut sukses mengendalikan VSD di
Sulawesi.
5. Penggunaan Jamur dan Bakteri
Antagonis
Penggunaan
jamur dan bakteri antagonis seperti jamur Trichoderma dan bakteri Pseudomoinas
flourensens (PF) untuk mengendalikan jamur O. theobromae perlu diuji
lebih mendalam untuk mendapatkan teknik pengendalian secara hayati yang lebih
efektif dan aman terhadap lingkungan.
6. Pengelolaan Pembibitan Kakao
Dianjurkan agar pembibitan kakao dibuat jauh dari kebun yang
berpenyakit agar pembibitan menghasilkan bibit yang sehat. Jangan menaruh bibit
di bawah pohon kakao yang berpenyakit.
7. Tindakan karantina
Tindakan karantina yang tegas perlu diterapkan terhadap
pemindahan bahan tanaman dari daerah serangan. Tindakan ini sangat penting
untuk mengurangi penyebaran penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Keane, P.J. (1981).
Epidemiology of Vascular Streak Dieback of cocoa. Ann.
Appl. Biol., 98 : 227-241.
Pawirosoemardjo, S.
& A. Purwantara (1987). Occurrence and control of Vascular Streak Dieback
of cocoa in Java and Southeast Sulawesi, In Workshop on assessment of Plant
Protection Risks for Cocoa. Lembang, Indonesia, 28th September-2nd
October 1987, 15 p.
Prior, C. (l977).
Vascular Streak Diaback Disease in Papua New Guinea. 6th I
International cocoa Research Conference.Caracas, Venezuela, Nov. 1977, 300-311.
Soemangun, H. (2000).
Penyakit-penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta University Press.
Yogyakarta.
Sri-Sukamto &
Y.D. Junianto. (1986). Evaluasi perkembangan penyakit VSD di Jawa. Balai
Penelitian Perkebunan Jember, 21 p.
Sulistyowati E. dan
Sri Sukanto (2006). Pengelolaan Organisme Penggangu Tanaman Kakao Secara
Terpadu. Makalah Pertemuan Regional Perlindungan Tanaman Perkebunan se Sumatera
di Bukit Tinggi.
Sunanto, H. (1994).
Coklat, Budidaya, Pengolahan Hasil dan Aspek Ekonominya. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.